Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 29)

Makruf Tukang Sol Sepatu (Bagian 29)

Pengantar – Di ranah kesenian Betawi ada istilah Tukang Gesah yang tiada lain adalah Tukang Cerita. Pada pertengahan abad ke-19, muncul nama lain yaitu Sohibul Hikayat. Dan memang, ketika itu tumbuh dan dicintai kesenian Sohibul Hikayat ini. Seniman Sohibul Hikayat mendapat apresiasi atau ditanggap pada perhelatan masyarakat Betawi, khususnya untuk memeriahkan keriaan atau hajatan, terutama resepsi perkawinan, khitanan, dan sebagainya.

Rupanya seniman Sohibul Hikayat tidak dapat melayani banyak permintaan, sehingga muncul pengarang atau penyalin cerita hikayat. Kita kenal misalnya Muhammad Bakir yang menyalin dan mengarang cerita hikayat tidak kurang dari 70-an judul. Bakir menyewakan karyanya kepada khalayak. Ini menjelaskan kepada kita bahwa karya Bakir dibacakan di tengah khalayak. Artinya Tukang Gesah tidak lagi berkisah secara lisan cerita yang dihafalnya, tetapi sudah dengan membaca manuskrip karya Bakir.

Dalam novel Nyai Dasima (1896), ada menyebutkan tentang Sohibul Hikayat ini. Dasima yang galau dirayu dan dihibur  Samiun, dengan mengajaknya nonton pertunjukkan Sohibul Hikayat.

Sohibul Hikayat lalu lebih tersebar ke antero wilayah Batavia (masa kolonial) kemudian Jakarta (sesudah kemerdekaan) ketika Haji Ja’far lalu Haji Jaid dilanjutkan putranya ( Haji Ahmad Safyan Jaid) malang melintang ditanggap (sampai disiarkan di radio) membawakan Sohibul Hikayat.

Salah satu judul Sohibul Hikayat yang sering dibawakan oleh Haji Jaid dan Haji Sofyan Jadi adalah Ma’rup Tukang Sol Sepatu. Namun Cerita ini pun sudah ditulis ulang oleh Umar Djamil (PT. Dunia Pustaka Jaya, Tahun 1978), Selamat membaca.

Bagian 29 – Dalam masa itu hamillah putri itu, dan tak lama kemudian lahirlah seorang putra yang molek rupanya dan cerdas otak nya. Tatkala putra itu berumur 5 tahun maka sakitlah putri itu.

la berkata kepada suaminya, “Adinda sedang sakit.” Maka Makruf menjawab, “Allah akan menyelamatkan adinda.”

“Rasanya telah dekat maut bagi adinda, tak ada yang adinda kehendaki selain kakanda jaga putra kita dan adinda pesankan pula supaya kakanda simpan baik-baik cincin ini!”

“Kakanda berjanji akan memenuhi wasiat adinda.”

Kemudian diberikannya cincin itu kepada suaminya dan sehari sesudah itu berpulanglah ia ke rahmatullah. Bergabunglah kerajaan itu beberapa lamanya.

Pada suatu malam, Makruf tidur di tempat tidurnya. Tiba-tiba ia terbangun karena terkejut dan dengan segera ia mengucapkan “A’uzu billahi minas syaithanir rojiem.”

Dibukanya matanya dan terlihat olehnya seorang perempuan buruk duduk di sampingnya.

Segera ia bertanya, “Siapakah engkau?”

Perempuan itu menjawab, “Jangan cemas, aku istrimu, Fatimah…..

Ditelitinya muka perempuan itu sehingga jelas baginya mukanya yang bopeng dan taringnya yang panjang, lalu ia bertanya, “Bagaimana engkau sampai di sini, siapa yang membawamu ke mari?”

“Di negeri apakah engkau sekarang?”

“Sekarang aku di negeri Khaitanul Khatan dan engkau kapan meninggalkan Mesir?”

“Barusan saja.”

“Bagaimana caranya?”

“Setelah kita bercekcok pada hari itu syetan telah menggodaku sehingga aku adukan engkau kepada hakim-hakim itu, yang segera memeriksa. Setelah dua hari kemudian menyesallah aku akan perbuatanku yang tak patut itu. Sepanjang hari aku menangis karena kepergianmu. Aku terpaksa minta-minta untuk dapat makan. Aku telah menderita sekali… tiap malam aku menangisimu…”

Kemudian diceritakannya semua apa yang terjadi pada dirinya, “Pada suatu hari tak ada seorang pun mau memberi sedekah padaku, bahkan mereka mencaci dan menghinaku. Tatkala malam tiba duduklah aku pada suatu tempat, menangis menanggung lapar, tiba-tiba datanglah seorang laki laki yang tinggi besar bertanya kepadaku, ‘Apa sebab engkau menangis?”

Kuceritakan bahwa dahulu aku mempunyai suami yang mencarikan makan bagiku, sekarang dia pergi entah ke mana sehingga aku terkatung-katung ditinggalkannya. Namanya Makruf.

Orang itu menceritakan bahwa engkau sekarang telah menjadi sultan di kota, dan sanggup mengantarkan aku ke sana Maka ia membawaku terbang sehingga aku sampai di istana ini Lalu masuklah aku Kulihat engkau sedang tidur dan aku harap engkau tidak melupakanku. Di atas semua itu segala puji bagi Tuhan yang telah mempertemukan kita.”

Makruf berkata, “Engkaukah yang telah mengadukan aku kepada kadi yang lain dan yang telah menyuruh orang menyiksa aku sehingga terpaksa aku lari?”

Kemudian diceritakannya semua kisahnya semenjak ia melarikan diri sampai ia menjadi sultan, istrinya meninggal dunia, meninggalkan seorang putra berumur tujuh tahun.

“Yang sudah itulah takdir Tuhan, tak usah dikenang lagi. aku telah bertobat… Aku harap engkau sudi menerimaku walaupun engkau memberi aku makan atas nama sedekah…

Demikianlah ia meminta dengan lemah-lembut sehingga Makruf jatuh belas kasihan pula kepadanya

“Tobatlah dari kesalahanmu kemudian tinggallah di sini. Tetapi apabila aku ketahui engkau berbuat kejahatan, engkau akan kubunuh. Tak seorang pun akan menolongmu… Jangan sekali-kali engkau hendak berbuat bencana kepadaku, karena sekarang aku seorang sultan yang ditakuti orang Aku takut kepada seorang pun selain kepada Allah subhanahu wataala. Padaku ada sebuah cincin yang kalau aku gosok datanglah seorang khadam bernama Abu Saadah sanggup mengadakan apa saja yang aku minta. Jika engkau ingin pulang kembali, maka akan aku kirim engkau dan aku beri kekayaan yang cukup seumur hidupmu. Dan jika engkau ingin tinggal di sini, maka akan kubuatkan untukmu sebuah mahligia yang dihampari permadani serta aku sediakan dua puluh orang hamba sahaya bagimu. Yang manakah engkau kehendaki?”

“Aku memilih tinggal bersamamu.”

Kemudian diciumnya tangan Makruf dan ia bertobat dari dosanya. (Bersambung)

Check Also

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Oleh Yahya Andi Saputra   Tukang sulap menjadi kalap, Jalan gelap pasang pelita, Mohon maaf …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *