Lebaran rutin, maksudnya saling berkunjung sesama keluarga dan tetangga sudah selesai dilakukan. Kita merasa enteng karena seolah-olah hati bersih tidak ada lagi dosa yang tersimpan. Anak-anak tetap dengan kegirangannya masing-masing. Tetapi bagi orang tua, ada agenda khusus lebaran yaitu lebaran kepada guru dan tunggu kubur.
Lebaran kepada guru memang (lebaran umum atau lebaran massal) menjadi tradisi bagi masyarakat Betawi, karena guru (guru ngaji, ustaz, ustazah, mualim, kiai) adalah pembimbing spiritual yang secara rutin membuka pengajian atau majlis taklim. Pada ruang pengajian atau majlis taklim itulah ilmu keagamaan (akidah dan sosial) diajarkan kepada jamaah. Guru-guru di majlis taklim mengajarkan berdasarkan kitab kuning yang telah sangat dikuasainya. Kitab kuning yang umum adalah Durratunnashihin, Fathul Qarib, Riyadus Shalihin, Ihya Ulumuddin, Shahih Bukhari Muslim, Arbain Nawawi, Minhajul Abidin, Tafsir Munir, dan lain-lain. Jika ustaz atau ustazah mengajar pada tinkat paling dasar atau disebut ngaji kuping, dibaca kitab karngn Habib Ustman bin Yahya, antara lain Sifat Duapuluh, Perhiasan Bagus, dan lain-lain.
Pengajian atau majlis aklim selama bulan puasa memang diistirahatkan. Biasanya ada acara yang disebut penutupan pengajian. Nanti setelah lebaran akan ada acara pembukaan pengajian. Seperti disinggung di atas, guru atau kiai memegang peran penting di tengah masyarakat Betawi. Guru selain menjadi pembimbing utama masaah keagamaan, juga menjadi pemimpin informal yang lebih dipercaya ketimbang pemimpin formal. Oleh sebab iu penghormata kepada guru angat tinggi. Lagi pula ada kitab kuning yang mengajarkan pengjormatan dan pemliaan kepada guru. Kitab itu berjudul Taklimul Muta’allim. Bahkan kepada adan atau cucu dari seoang guru, ulama, kiai, wajib kita hormati dan muliakan. Ada perintah yang ditafsirkan dai hadis, al-ulama warasatul ambiya, guru atau ulama itu pewaris nabi-nabi. Bagian kepemimpinan ini akan dibahan pada lain kesempatan.
Seminggu sesudah lebaran (maksudnya paling tidah tujuh hari sesudah satu Syawal), oleh tetua kampung diumumkan akan ada silaturrahim atau lebaran kepada guru. Dihimbau dan dianjurkan agar warga berpartisipasi semampunya. Pada hari yang telah ditentukan, berkumpullah di tempat atau rumah yang disepakati. Di tempat ini warga memberikan pastisipasinya biasanya berupa uang. Nilai uang itu kemudian dibagi sesuai dengan guru yang akan dikunjungi. Misalnya terkumpul uang lima juta, maka dibagi untuk 7 guru yang akan dikunjungi. Tentu nilainya berbeda. Guru yang paling senior atau paling tua nilainya lebih besar.
Kegiatan seperti ini tidak hanya dilakukan oleh kaum bapak, tetapi juga oleh kaum ibu dan remaja. Kita yang anak-anak, hanya menjadi penggembira dan ngerecokin (membuat keributan) di tengah keramaian saat rombongan bererod (beruntun) menuju rumah guru. Di rumah guru atau biasanya diarahkan ke langgar, karena ruagnya lebih besar dapat menampung jamaah yang banyak, guru biasanya berbasa-basi menanyakan apa saja kegiatan lebaran dan memberikan nasihat singkat. Intinya bagaimana silaturrahim harus digairahkan dan diwariskan kepada generasi mendatang agar tidak kematian ilmu. Kita sih, namanya anak-anak, ya girang meski enggak tau apa yang diceramahkan.
Waktu kecil saya sering disuruh oleh enyak atau baba nganterin pengetean (kue-kue, nasi, sayur, dan lauk-pauk ditambah rokok kretek) ke kuburan. Enyak bilang dapat giliran nyiapin (menyiapkan) makanan buat orang yang nunggu kubur. Meski sedikit ngured-ngured (mengeluh), saya pun mengantarnya ke kober (tempat pemakanam umum warga). Di kampung saya ada beberapa lokasi kober, yaitu di Gandaria Selatan (Kober Gandaria) di Terogong (Kober Beringin), Cilandak Barat. Pada dua kober itu ada famili atau keluarga yang dimakamkan. Saya pun menyerahkan anteran itu kepada kuncen di lokasi kober. Biasanya pada tiap kober ada bangunan langgar kecil yang hanya digunakan setahun sekali atau jika ada orang yang dikuburkan. Meski jarang digunakan, kuncen tiap hari membersihkannya. Masa kini biasanya selalu ada musafir yang shalat di langgar di tengah kober itu.
Rencana pelaksanaan tunggu kubur dibicarakan pada saat kumpul di rumah guru ketika lebaran massal ke rumahnya. Koordinator ditunjuk secara aklamasi. Atau bisa saja ketua kober yang dipercaya mengkoordinasikannya. Dibuatlah edaran kepada seluruh ahli waris yang ada. Ahli waris yang tinggal di tempat atau kampung bahkan kota lain disurati bahwa akan dilaksanakan tunggu kubur.
Tunggu kubur adalah kebiasaan orang Betawi membaca Quran di kober dikhususkan bagi orang yang baru meninggal. Tunggu kubur dilaksanakan sesuai dengan persediaan pendukungnya. Jika pendukung itu cukup dua minggu, maka dilaksanakan dua minggu. Pendukung yang dimaksud adalah biaya yang tersedia yang didapat dari gotong royong ahli waris.
Tunggu kubur yang diisi dengan pembacaan Quran sesuai kesepakatan, dilakukan sehari semalam selama dua minggu. Artinya pembacaan Quran tidak terputus selama 2 jam. Selama dua minggu itu ramailah orang datang ke kober, baik mereka yang bertugas membaca Quran atau sekadar menjadi suporter agar suasana tidak terlalu sepi.
Koordinator tunggu kubur mengatur dan membagi petugas pembaca Quran ke dalam beberapa kelompok. Misalnya tunggu kubur dilaksanakan selama 15 hari, maka dibuat 5 kelompok. Dari jumlah itu tinggal ditentukan saja berapa hari masing-masing kelompok bertugas tunggu kubur. Setiap kelompok terdiri dari 4 orang disesuaikan dengan kemampuan fisik si pembaca. Kalau para pembaca masih pemula, satu rombongan bisa 6 sampai 8 orang.
Para pembaca Al-Qur’an ini biasanya adalah orang-orang yang pekerjaannya adalah mengaji atau memang mereka adalah guru ngaji. Dapat disebut ada kelompok profesi khusus untuk ini. Sebab untuk bisa bertahan membaca Al-Qur’an bersila selama lebih kurang 3 jam bukan sesuatu pekerjaan mudah, jika ia bukan orang yang sudah biasa melakukannya. Kalau sehari 24 jam dan rombongan tukang ngaji ada 4 orang, tinggal dibagi saja berapa jam setiap orang membaca Qur’an (24:4 = 6). Jadi tiap orang akan membaca Qur’an 3 jam pada malam hari dan 3 jama pada siang hari. Rombongan tukang ngaji ini tentu saja mendapat upah. Itu sebabnya mengapa mereka hanya terdiri dari kelompok kecil (yaitu 4 orang) saja tiap kelompok. Upah atau uang lelah itu akan dibagi rata (sama besar) di antara mereka.
Koordinator mengatur semuanya agar prosesi tunggu kubur berjalan lancar. Mengingatkan donatur yang belum setor, mengatur konsumsi agar tidak terlambat, dan mengontrol pekerajaan petugas kebersihan jangan sampai di kober ada sampah. Kesuksesan tunggu kubur merupakan kesuksesan masyarakat dan tentu kepiawaian kordinator menjalankan tugasnya. Tunggu kubur ditutup pada hari terakhir dengan membaca doa khatmul Quran. (Yahya Andi Saputra)