MENJADI DALANG (Bagian 4)

MENJADI DALANG (Bagian 4)

Oleh : Tim Litbang Lembaga Kebudayaan Betawi

Mengabdi pada Seorang Dalang

MENJADI DALANG (Bagian 4) – Sekali seorang (biasanya anak dan remaja) tertarik menjadi dalang, ia selalu mencari kesempatan menonton setiap pergelaran. Seperti yang dituturkan seorang dalang dalam  riwayat hidupnya, “Aku demikian cinta kepada wayang, bahkan sejak sekolah dasar. Tiap  pertunjukan oleh dalang terkenal yang kebetulan kudengar,  walaupun di tempat yang sangat jauh, aku  merasa harus pergi dan menontonnya. Bahkan aku sering  mengorbankan tugas sekolah.” Demikian kisahnya.

Seorang dalang memang mempunyai beberapa guru. Dari  tiap guru itu calon dalang belajar,  meniru, menyerap pengetahuan  segi-segi tertentu, baik gaya dan teknik yang paling menarik, unik, me gesankan, dan sebagainta. Tidak jarang pula terjadi seorang anak muda nyantrik atau ngenger (menjadi cantrik atau mengabdi) pada dalang termashyur tertentu, agar bisa menjadi ahli dalam pekerjaannya.

Pemilihan seorang calon terhadap dalang tertentu biasanya didasarkan atas kekagumannya terhadap keterampilan atau pengetahuan istimewa yang dimiliki dalang tersebut, yang diharapkan keistimewaan itu akan bisa memilikinya pula.

Kendati sang guru akan menyapa kepada muridnya itu sebagai “anakku”, kedudukan “si anak” di dalam keluarga guru sering kali hanya di pinggir saja. Biasanya ia tidak tidur di dalam rumah, tetapi di dalam bangunan tambahan terpisah di halaman atau di pendapa bersama-sama pembantu rumah tangga. Dalam hal-hal tertentu sesungguhnya ia memang pembantu (abdi). Ini tentu dikaitkan sebagai imbalan atas makan dan tempat tinggal yang diterima selama nyantrik. Bantuan yang dilakukannya dalam   segala macam pekerjaan bagi gurunya tersebut. Misalnya menyapu halaman, merawat tanaman, memperbaiki rumah dan sekitarnya apabila perlu. Di samping tugas-tugas rumah tangga ini, dia akan menyertai gurunya pada pertunjukan-pertunjukan yang dilakukannya. Dalam hal ini ia akan membantu mempersiapkan tempat pementasan dan selama pertunjukan berlangsung ikut menabuh gamelan. Di samping itu, selama pengabdiannya itu pun akan dimanfaatkan untuk melakukan pekerjaan pembuatan wayang, sekalugus apabila perlu juga menjual hasil pekerjaannya itu.

MENJADI DALANG (Bagian 4). Sebagai imbalan atas pengabdiannya itu dia diberi kesempatan untuk belajar dan berlatih sendiri dalam keterampilan untuk keahliannya di masa datang tersebut. la belajar tentang berbagai macam Iakon baru, gaya penceritaan yang berbeda-beda, gaya gurunya yang istimewa, atau teknik memainkan wayang (sabetan) yang berbeda-beda.

Walaupun pada hakikatnya seni dalang disebarkan secara lisan, buku-buku panduan khusus (pakem) telah menjadi semakin penting sejak awal abad ini juga bagi dalang profesional. Cara bagaimana pengetahuan itu disampaikan oleh guru kepada muridnya, hakikatnya tidak berbeda dari apa yang sudah menjadi kebiasaan bagi si murid di rumah. Di sini pun sedikit-banyak bergantung kepada prakarsa murid dan kepada minat sang guru terhadapnya. Juga di sini proses penyampaian itu ditandai dengan sampai taraf tertentu, sifatnya yang mengacak, tidak berurutan.

Setelah si murid mulai merasa tidak ada lagi sesuatu yang perlu dipelajari dari gurunya, ia pun boleh mulai berjalan sendiri. Tetapi yang lebih lazim, ia akan mencari dalang lain lagi untuk belajar barang sebentar. Kebiasaan berkelana dari satu guru ke guru yang lain untuk mencari ilmu bukanlah semata-mata pada kalangan dalang muda, tetapi merupakan gejala atau kebiasaan pada umumnya. Dalam tulisannya Javaansche Volkvertoningen, Pigeaud, antara lain menyebut masalah santri pengelana yang digambarkannya sebagai “Hamba lak-laki yang mencari guru agar memberi pengajaran kepada mereka tentang pengetahuan suci sebagai imbalan untuk tenaga yang diabdikannya (Pigeaud 1938:35). Juga dalang-dalang muda itu dalam pengembaraan mereka dari guru ke guru ialah khususnya untuk mencari ilmu gaib (ngelmu), yang disimpannya dengan rapat, yang menjadi kunci keberhasilan baik sebagai dalang maupun sebagai manusia terpandang di tengah-tengah masyarakat, terlepas dari keterampilan dalam keahlian pedalangan yang dimilikinya. Tetapi mereka hanya akan diperbolehkan memiliki ilmu tersebut setelah mempersiapkan diri memasuki dunia pengetahuan gaib ini dengan mengikuti proses sebagaimana seharusnya. Misalnya menjalankan puasa, tirakatan atau tapa, dan sebagainya. (Bersambung Bagian 5)

Check Also

LAKON MAHARAJA GAREBEG JAGAT (Bagian 12)

LAKON MAHARAJA GAREBEG JAGAT (Bagian 10)

Maharaja Garebeg Jagat – Tersebutlah seorang Penyalin dan Pengarang Sastra Melayu di Tanah Betawi pada …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *