Oleh : Tim Litbang Lembaga Kebudayaan Betawi
Hubungan Dalang-Anak atau Guru-Murid
DOMINASI DALANG (Bagian 5) – Karena anak biasanya akan memulai kariernya sebagai dalang ketika ayahnya masih segar bugar, maka sebenarnya berarti ia akan menjadi ancaman terhadap kemasyhuran sang ayah. Dalam kenyataannya sampai pada taraf tertentu, persaingan di antara mereka memang ada. Tetapi karena dalam masyarakat Jawa umumnya dan Betawi khususnya, asas kerukunan merupakan hal yang sangat penting, maka persaingan itu tidak mengemuka. Dan yang kemudian menampak ialah hubungan antara ayah dan anak agak terlalu formal dengan menonjolkan segi kewibawaan ayah terhadap anak, dan sikap normal di pihak anak terhadap ayah.
Hubungan formal semacam itu tidak merupakan kekhususan bagi keluarga dalang saja, tapi gejala yang lazim di dalam masyarakat Jawa. Sekalipun demikian, kekhususan itu menjadi istimewa di dalam keluarga ini justru oleh karena alasan adanya anggapan di kalangan dalang bahwa dirinyalah benteng tradisi yang sejati.
Terlepas dari hubungan ayah-anak yang formal demikian, terlihat adanya barbagai cara bagaimana dalang menunjukkan wibawa dan kharisma. Pertama tama, dengan cara minta izin atau pamit. Pada dasarnya anak wajib minta izin atau berpamitan kepada ayahnya tiap mendalang. Bukan sekadar minta izin, tapi terpenting memohon dukungan dan restu agar pertunjukannya berjalan aman tanpa aral dan rintangan. Tetapi pada proses selanjutnya, anak cenderung mengabaikan tata krama minta izin itu, sejalan dengan kemandiriannya yang semakin kuat, setidak-tidaknya apabila ia tinggal di tempat yang jauh. Bila ia dan ayahnya tinggal di satu desa, seperti Neran dengan anaknya, semestinya tatakrama ini lazim dilakukan. Atau jika pertunjukan berlangsung tidak jauh dari kediaman sang ayah, menurut adatnya si anak akan mampir memberitahukan kepada ayahnya sebelum atau sesudahnya.
Kadang-kadang pula dalang baru akan mengambil alih tugas ayah atau gurunya di tengah-tengah pertunjukan. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan tata krama seni pedalangan. Tapi sesekali terjadi berdasar alasan yang dapat dibenarkan. Misalnya karena dalang sudah terlalu tua atau berpenyakitan, sementara ia tidak ingin mengecewakan pihak penanggap dan pengagumnya.
DOMINASI DALANG (Bagian 5). Demi penghormatan kepada tuan rumah, si dalang tua akan mengawali pertunjukan, seperti diterangkan (karena ia merasa terikat oleh kehormatan itu), tetapi sesudah adegan pembukaan (janturan jejer) anaknya akan meneruskan pertunjukan atas namanya. Tetapi sang anak tidak selalu bisa memenuhi permintaan sang ayah, misalnya kareba ia sudah menerima tanggapan pada hari yang sama. Dalam hal demikian, sang ayah akan mencari seseorang, dalang mana saja, agar mewakili dirinya, terutama seorang dalang muda.
Seorang dalang yang sudah mulai mengadakan pergelarannya sendiri sama sekali tidak lantas berarti bahwa ia pun telah tamat dengan pendidikannya. Seperti di atas sudah disinggung, pendidikan dalang ini agak acak-acakan, tidak berpola (Sekarang sudah ada srkolah seni atau lembaga pendidikan pedalangan). Lakon-lakon tertentu, japa atau mantra, dan tata cara upacara, sering kali baru akan diwedarkan apabila dirasa sudah ada keharusan untuk itu. Hal ini berhubungan dengan pertunjukan-pertunjukan untuk maksud tertentu. Misalnya pertunjukan untuk memanggil hujan atau menolak hujan, membersihkan pekarangan dari roh jahat, menolak hama dan penyakit, dan upacara ruwatan dalam arti yang lebih sempit yang memerlukan pergelaran lakon Murwakala.
Pengetahuan yang diperlukan untuk upacara-upacara itu biasanya hanya akan diberikan oleh dalang kepada anak atau muridnya pada saat masa pendidikan akan berakhir. Tetapi ia tetap memegang monopoli terhadap pertunjukan bersifat titus itu selama-lamanya. Dengan penentuan masa pentahbisan oleh dirinya sendiri itu pun, berarti dalang akan tetap bisa menjaga citra dan wibawanya terhadap anak atau murid.
Cara lain untuk mengamankan kedudukannya ialah dengan menyebarkan pengetahuannya pada anak atau murid lain dengan kata lain. Ini dilakukan dengan penyampaian pengetahuan yang sambil lalu. Ini upaya harus dilihat sebagai usaha sadar untuk menunda “kedewasaan” si murid. Dalam hubungan ini juga penting adanya pendapat bahwa kebenaran yang sempurna terlalu berat, dan malah akan menjadi berbahaya. Hal ini terkait apabila si murid kurang kebijaksanaan dalam menggunakan kebenaran sempurna itu sebagaimana mestinya. Pemahan tingkat jebenaran demikian hanya akan dimiliki pada umur yang telah lebih matang. Pengakuan atau pentahbisan oleh atau guru seperti itu tidak berarti bahwa anak atau murid selama-lamanya tidak akan menjadi paripurna. Pada akhirnya si murid tetap mempunyai kemungkinan berguru atau mengisi pengetahuannya dari dalang-dalang lain.
DOMINASI DALANG (Bagian 5). Ukuran untuk menetapkan kapan kesempurnaan pengetahuannya telah terpenuhi selalu sangat subyektif. Ini (masa lalu) tidak adanya peraturan yang pasti, bahkan mengenai jumlah minimum pengetahuan gaib yang harus dimiliki oleh seorang dalang. la bahkan bisa pergi berguru kepada siapa pun yang bukan dalang, tetapi seorang “guru ilmu gaib” (kiai atau dukun) yang ahli dalam budangnya. Oleh karena itu, walaupun sedikit, akan selalu terdapat perbedaan pengetahuan sang anak dan ayahnya. Tradisi keluarga dalam arti terbatas (dalam keluarga dalang tertentu) sama sekali tidak diteruskan secara utuh dan penuh.
Seperti jelas disebut di atas bahwa pengetahuan gaib merupakan bagian penting di dalam hubungan dengan pendidikan dalang. Namun, didirikannya sekolah-sekolah dalang pertengahan abad ke-20 ini menggemakan suatu periode perkembangan baru dalam teknik-teknik pedalangan. Dengan sendirinya, makin sedikit dan sempit ruang bagi pengetahuan gaib semacam itu, demikian juga sarana untuk memperolehnya. (Bersambung TERTIB MENDALANG)