Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 20)

Hikayat Jaya Lengkara (Bagian 20)

Hikayat Jaya Lengkara – merupakan karya sastra tulis melayu klasik Betawi, buah karya Muhammad Bakir. Beliau dan ketiga saudaranya dan Sapirin—yang sering juga disebut Guru Cit, adalah anggota keluarga Fadli yang aktif dalam proses menerjemahkan, menyadur dan penulisan. Tulisan ini disadur dari buku “Bunga Rampai Sastra Betawi”, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Propinsi DKI Jakarta Tahun 2002.

Segera Raden Makdhim terjaga. Serentak ia melompat, di hadapannya

telah berdiri raksasa perempuan tua.

“Ha..ha..ha..,” raksasa itu. “Anak muda, dagingmu tentu lezat.

“Ha.. ha. . ha..,” jawab Raden Makdhim. “Tetapi gigimu ompong bagaimana kau mengunyahnya?”

“Hi..hi..hi..,” kau berani juga rupanya, aku suka itu, Jangan khawatir. Aku tidak makan daging.”

“Syukurlah,’t desah Raden Makdhim lega. “Aku begini lelah, tak kuasa aku berkelahi denganmu nek.

“Hah, berkelahi?” Hanya itu sajakah yang ada dalam pikiran manusia?”

Raden Makdhim tersenyum malu, hatinya senang berjumpa dengan nenek raksasa yang balk hati. Maka tak berapa lama keduanya saling bercerita.

sayang pangeranku malang ha..ha..ha…

“Yah begitulah kata orang nek.” Jawab Raden Makdhim seraya meringis melihat kelakuan nenek itu.

Baiklah. .baiklah,” ucap nenek. “Soal abangmu itu, heh apa dia pangeran juga?”

“Entahlah Nek, tapi pasti ia bukan seorang putri.”

“Ha..ha..ha, benar, benar, dia bukan putri, ha..ha..ha..”

“Apa Nenek tahu dimana ia berada?” Raden Makdhim kembali meringis.

“Tapi kalau ia bukan putri,” ujar nenek. “Buat apa kau cari. Ia baik-baik saja, waktunya nanti jua ia akan pulang.”

“Bagaimana Nenek tahu?”

“Tentu saja aku tahu.”

Raden Makdhim tercenung.

“Kalau kau sudi pangeran malang,” ujar nenek.”Tinggallah di gubukku sejenak, aku. punya banyak dodol untukmu.”

Maka tinggallah Raden Makdhim berguru pada nenek raksasa. Berbagai ilmu kesaktian diajarkan nenek. Segala ilmu itu diterima Raden Makdhim dengan cepat.

Setelah beberapa lama kemudian. Saat malarn telah larut. Raden Makdhim dan nenek duduk di depan tungku. Nenek tampak diam, tidak seperti biasanya.

“Nek, ” ujar Raden Makdhim. “Ayolah mendongeng, jangan diam saja.”

“Kau sudah besar anak berandal, apa kau tak mau berbini?”

“Tentu mau Nek.”

“Maharaja Semboja tengah mengadakan sayembara. Mencari calon suami Tuan Putri Ismaya Cindra.”

“Lalu?”

“Pergilah kau ke sana, nasibmu sudah menunggu.”

Raden Makdhim terdiam. “Nenek hendak mengusirku?”

“Cucuku, tugasku telah usai,” ujar nenek dengan suara dan tutur kata yang halus.

Terheran-heran Raden Makdhim memandanginya. Wajah keriput nenek yang menyeramkan tampak memancarkan cahaya lembut penuh kasih.

Tanpa sadar Raden Makdhim telah bersimpuh di pangkuan nenek sambil menangis.

“Jangan menangis cucuku,” bisik nenek lembut. “Simpanlah air matamu, masih banyak kepedihan harus dijalani.”

Hikayat Jaya Lengkara – Sebelum fajar menyingsing, Raden Makdhim telah jauh meninggalkan nenek raksasa. Nenek raksasa dan gubuknya telah lenyap semalam, kembali ke asalnya.

Ibu kota negeri Maharaja Semboja telah ramai didatangi para pangeran dan raja-raja. Mereka datang untuk memperebutkan Tuan Putri Ismaya Cindra.

Namun di pinggiran kota, di bengkel Bapak Koja si pandai besi’ kesibukan tetap berjalan sebagaimana biasa. Bapak Koja baru mendapat seorang pemba•ntu, seorang pemuda dusun yang tampan.

“Berhentilah dulu Makdhim,” ujar Bapak Koja. “Hari telah Dzuhur, mari kita ke surau.”

“Baik Bapak,” jawab Raden Makdhim yang mengaku berasal dari dusun.

(Bersambung)

Check Also

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Bahasa Betawi Memperkuat Identitas Betawi

Oleh Yahya Andi Saputra   Tukang sulap menjadi kalap, Jalan gelap pasang pelita, Mohon maaf …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *