BAKAR MERANG

BELEDURAN DAN NGADU BEDUG

CERITA PUASA ANAK BETAWI

Pengantar

Ahlan wasahlan syahri Ramadan.

Bulan puasa ini, laman kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masalah-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut bulan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin, haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.

Salamat puasa. Raih predikat takwa.

BELEDURAN DAN NGADU BEDUG

Jaman dulu — maksudnya waktu nak-anak, setengah abad yang lalu — hari-hari menjelang bulan puasa adalah hari yang paling ditunggu oleh anak-anak. Girang bukan kepalang. Sekolah ude diperein atau diliburkan (biasanya sekolah sudah diliburkan seminggu sebelum puasa). Maka bagi anak-anak, inilah hari-hari yang menggembirakan yang diisi dengan bermacam aktivitas. Khususnya aktivitas yang berkaitan dengan semangat puasa.

Bagi anak-anak kampung yang hidup di kampung sudah pasti bermain bersama anak-anak se kampung. Karena jarak rumah di kampung tidak terlalu jauh, maka kami sudah saling mengenal satu dengan lainnya. Bahkan di antara kami masih satu garis keturunan (sepupu, misanan, ponakan, encang, encing, dan lainnya). Memang pada umumnya umur kami rata-rata tidak berjarak jauh. Iya, benar. Saya pernah bertanya-tanya dalem hati, kenapa kok umur kami (maksudnya anak-anak) enggak kacak jauh. Kami sepantaran (sebaya). Kalau pun ada yang lebih tua, paling-paling kacak tiga atau empat tahun. Dan tinggi badan kami pun seimbang. Memang ada anak yang bongsor atau berbadan lebih gemuk dan lebih tinggi, tapi paling-paling satu dua orang saja.

Sehabis ngaji di langgar, sekitar pukul sembilan pagi, sembari ngangon kambing, kami pun bersepakat untuk membuat beleduran, sering juga disebur beleguran atau meriem sundut. Beleduran pada umumnya dimainkan menjelang bulan puasa, saat bulan puasa dai siang sampa menjelang maghrib, dan sering pula dimainkan untuk membangunkan sahur. Maka kami pun pergi ke pinggir kali atau tempat lain yang ditumbuhi pohon bambu. Biasanya pohon bambu yang tumbuh di pinggir kali, bebas kita tebang. Jika pohon bambu itu tumbuh di tanah milik seseorang, maka kita harus minta kepada pemiliknya. Keseringannya atau pada umumnya yang punya pohon bambu akan mengizinkan kita nebang sebatang atau dua batang pohon yang kita pilih. Orang yang sering kami minta bambunya adalah Wak  H. Jeman dan Wak H. Jisim (semoga keduanya lega dan terang benderang alam kuburnya). Jenis bambu untuk membikin beleduran biasanya bambu petung atau betung. Selain berlingkaran lebih besar, bambunya lebih tebal. Oleh sebab itu kami memilih jenis bambu ini. Jenis bambu lain pun tetap dapat dipakai untuk membuat beleduran, namun kualitas suaranya kurang jegar-jegur (tidak berdentum). Bisa-bisa suaranya cempreng mirip petasan ceplikan (petasan cabe-cabean).

Beleduran atau Meriam Sundut

Saya belum tahu kapan persisnya anak-anak Betawi memainkan beleduran atau meriem sundut. Apabila dikaitkan dengan nama meriem atau meriam, yaitu jenis senjata berat yang larasnya besar dan panjang, pelurunya besar, dan sering diberi roda untuk memudahkan memindahkannya, maka masyarakat Betawi sudah mengenal sejak lama satu meriam yang legendaris, Meriam Si Jagur. Konon meriam ini dibawa oleh Portugis dan ngendon di tanah Betawi sejak tahun 1520-an. Lalu pada masa penjajahan Belanda (VOC dan HIndia Belanda), meriam berseliweran di depan mata orang Betawi. Agaknya tidak berlebihan jika dapatlah dikatakan bahwa meriam ini menginspirasi permainan anak-anak Betawi, meriem sundut atau beleguran atau beleduran.

Saya diajarkan bikin beleduran oleh Bang Kamsari Faisal (sudah almarhum dan abang saya yang paling tua ini memang mahir dalam beberapa kerajinan dan keahlian, antara lain membikin layangan dan kaligrafi serta pekerjaan tangan lainnya). Sebenarnya membuat beleduran tidak rumit. Sangat mudah. Sesudah mendapatkan bambu yang ideal (berdiameter 12-20 cm), maka bambu dibersihkan dan dipotong sepanjang satu meter lebih dikit. Ruas pertama dibarkan tertutup sedangkan ruas kedua dan berikutnya dibuang pemisah antar ruasnya menjadi berbentuk laras. Kira-kira 10 cm dari pangkalnya dilubangi (diameter satu senti meter) untuk tempat nyundut. Bahan peledak dibuat dari karbit dicampur air atau minyak tanah. Sampai di sini, beleduran siap beraksi.

Pemain beleduran  dapat dibedakan antara mereka yang menangani langsung (awak meriem) dan mereka yang hanya nonton mengerumuni di sekelilingnya dengan jarak sekita 3-5 meter. Cara bermainnya diawali dengan memasukan karbit dicampur minyak tanah ke pangkal beleduran. Posisi meriam mendongak sekitar 10-20 cm. Ujung laras ditutup kain basah sampai padat supaya uap amunisi tidak keluar. Lubang penyundut ditutup dengan jari atau dibuat alat penutup selama satu menit. Kalo ingin suaranya lebih keras diturup minimal lima nemit. Maka menggelegarlah suara meriam sundut jelegar jelegur beledar beledur. Permainan ini dimainkan di luar rumah, sebab dentum suaranya yang keras dapat mempengaruhi keadaan dalam ruangan.

Ada yang lebih seru ketimbang memainkan beleduran ini, yaitu adu beleduran. Dahulu ada adu beleduran antarkelompok atau antarjalan, antargang, dan antar kampung. Yang paling seru adu beleduran antarkampung. Itu semua bertujuan untuk meramaikan atau begembira atas datangnya bulan puasa. Sebab kita yakin bahwa dengan bergembira saja dengan kedatangan bulan Ramadan, maka haram jasad kita dicolek api neraka.

Beleduran atau Meriam Sundut

Selain denan beleduran, kegirangan anak-anak menyambut bulan puasa adalah nabuh bedug. Jika bermain beleduran dimulai sesudah lohor, maka nabuh bedug sudah dilakukan sejak pagi. Sebab bedug sudah ada di tiap langgar maupun masjid. Jadi anak-anak dapat langsung datang ke langgar atau masjid untuk nabuh bedug. Saya pun sering berebut pukulan bedug dengan teman-teman, agar dapat merasakan kegembiraan dan kenikmatan nabuh bedug.

Dulu saya sering memperhatikan cara dan gaya Bang Karim, Bang Atam, Bang Amin, Bang Juki, Bang Akub, Bang Dalih, dan abang-abang lainnya dalam aksi nabuh bedug. Kombinasi tabuhan tektek dan ngeter sungguh nikmat didengar. Ada juga jenis tabuhan nabuh bedug khas Bang Atam, yaitu dangdengdang. Tabuhan ini bertempo lambat tetapi jelas didengar mana nabuh pinggir, nabuh tengah, dan nabuh pukulam dua. Dan kelebihan Bang Atam lainnya adalah durasi nabuh yang panjang. Jika abang-abang lain hanya 15 menit, Bang Atam sanggup setengah jam tanpa jeda. Sungguh tenaga yang luar biasa.

Keasyikan bercengkerama dengan bedug tambah riuh jika ada adu bedug. Meski tanpa direncanakan sebelumnya, biasanya anak-anak di satu langgar dengan langgar lainnya, sudah memaklumi jika ada kode untuk memulai aduan. Jika salah satu pihak sudah berteriak atau dengan kode, maka dimulailah adu bedug itu. Adu bedug yang lebih meriah adalah adu bedug antar kampung. Dampak adu bedug antarkampung ini kadang-kadang panjang. Sebab kampung yang kalah (terutama penabuhnya) sering dikatain (mendapat olok-olok) menyakitkan. Pernah ente ngalamin? (Yahya Andi Saputra).

Check Also

MALEM TUTUP BUKU

MALEM TUTUP BUKU

Malam Nisfu Sya`ban Tahukah anda bagaimana cerita panjang mengenai Bulan Sya`ban ? Jika dilihat hingga …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *