TRADISI RANTANGAN

CERITA PUASA ANAK BETAWI

Pengantar

Ahlan wasahlan syahri Ramadan.

Bulan puasa ini, laman www.kebudayaanbetawi.com menurunkan artikel berseri hal-ihwal atau sisik melik puasa dalam masyarakat Betawi. Artikel ini ditulis Yahya Andi Saputra, Wakil Ketua Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) Bidang Penelitian dan Pengembangan. Semoga tulisan ini (ditulis dengan gaya bercerita) bermanfaat bagi pembaca dan peminat masalah-masalah kebetawian lainnya. Mari kita menyambut bulan suci Ramadan dengan girang. Dengan girang saja, Allah jamin haram jasad kita disentuh api neraka. Semoga ibadah puasa kita menjadi ibadah yang berdampak pada kehidupan sosial sehari-hari. Dampak wata’awanu ‘alal birri wattaqwa dan ketakwaan sosial yang nyata.

Salamat puasa. Raih predikat takwa

TRADISI RANTANGAN

Namanya juga anak-anak, besok mau lebaran, girang dan bahagianya sudah mulai dari kemaren. Pahahal puasa juga sering jebol. Puasa kembang ninjo, pagi-pagi udah mindo. Kenapa begitu? Enggak lain lantaran semua kebutuhan buat dipakai di hari lebaran sudah ada. Udah cukuran. Pakaian serba baru mulai dari kopyah, baju, celana, sarung, sendal dan sepatu sudah ada. Bahkan pakaian itu kita jejerin di ranjang dan dielus-elus tiap saat. Dan kita saling cerita kepada teman-teman sebaya.

Enyak makin sibuk ngurusin urusan dapur. Terkadang enyak meminta bantuan untuk membersihkan perlengkapan dapur yang akan dipakai pada lebaran. Dulu jaman sebelum instalasi listrik dipasang, sekitar awal tahun 1970-an, saya selalu diminta membersihkan lampu petromaks, gembreng dan templok. Membersihkan kap dan semprongnye. Membetulkan sumbu dan ngisiin (mengisi) minyaknya.

Merawat petromaks tentu harus sangat hati-hati. Mulai kap reflektor, tutup lampu, kap dalam, tempat masang kaos, tempat sepirtus, tabung minyak tanah, pompa, dan pengatur besar kecilnya tekanan udara penyuplai minyak. Paling hati-hati jangan sampai menyentuh kaosnya (sumber terangnya), sebab mudah pecah. Dulu kami punya dua petromsks merek Butterfly. Dipasang hanya sampai pukul 11 malam, sesudah itu dipasang lampu templok atau gembreng. Sebelum listrik masuk kampung, resepsi perkawinan memakai penerangan petromaks. Bahkan panggung lenong diterangi petromaks. Penyewaan perlengkapan pesta perkawinan menyediakannya. Dibutuhkan sampai sepuluh buah di luar panggung.

Perlengkapan lain yang harus kami bersihkan adalah rantang. Karena rantang jarang dipakai pada hari biasa, maka menyimpannya bukan di steleng tetapi di gudang dan debuan (berdebu). Rantang merupakan wadah tempat menyimpan makanan terbuat dari kaleng (besi tipis berlapis timah)  berbentuk susun vertikal dilengkapi tangkai sebagai pengait dan tentengan (pegangan). Jumlah susunannya sampai lima dengan ukuran beragam.

Warna rantang macam-macam. Ada yang original. Tapi enyak punya tiga rantang dengan warna oranye, hijau muda, dan putih bermotif. Yang bermotif ada motif  uribang (kembang sepatu) merah, mawar merah, ayam jago, pemandangan alam, dan belorok. Ketika pelastik menjadi raja, rantang terbuat dari pelastik.

Ketika sibuk membuat dodol, saya pun diminta membersihkan tenong. Tenong adalah anyaman terbuat dari bambu berbentuk bundar diameter sekitar 20 – 25 sentimeter dan tinggi sekitar 15 sentimeter. Bagian bawah berfungsi untuk kaki, bagian atas untuk wadah makanan (dodol, uli, wajik, geplak,  rengkambang). Dulu ketika ada serah-serahan pernikahan, jumlah tenong menjadi ukuran nilai bawa duit (uang bekanja) kepada besan.

Besek dan bongsang pun digunakan saat lebaran. Besek adalah wadah makanan terbuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat. Terdapat bermacam ukuran. Bongsang adalah keranjang kecil dibuat dari bambu dengan anyaman lebih longgar. Bongsang bisanya untuk wadah membawa buah-buahan.

Pada masyarakat Betawi, berkunjung ke rumah enyak-babe, abang-empok, encang-encing, beraya, guru dan tokoh masyarakat, lazim membawa rantang. Isi rantang bermacam-macam. Rantang paling bawah diisi sayur sambel godog atau semur daging kebo atau gulai, kedua diisi nasi atau ketupat, ketiga dan seterusnya diisi kue-kue (dodol, uli, wajik atau geplak). Jika berkunjung ke lima rumah, semua diisi kue. Biasanya tiga jenis kue (dodol, uli, geplak).

Karena sudah terbiasa kunjung-mengunjung menenteng rantang, maka orang menyebut di masyarakat Betawi ada tradisi rantangan. Bisa jadi ini benar, karena kebiasaan ini sudah dilazimkan atau dilakukan turun-temurun. Nyaktua (nenek) saya, Hajjah Siti Aminah binti Ma’an, memilik empat rantang susun lima. Mak Hajjah Salamih binti Nisin pun memilik lima set dengan warna-warni keren. Tapi saya enggak bisa menetapkan waktu berdasarkan kebiasaan Nyaktua. Lalu kapan persisnya? Saya masih sering keliling kampung untuk mengetahuinya. Nantikan saja.

Saat lebaran, mengantar makanan atau buah dengan besek dan bongsang biasanya wadah itu enggak dibawa pulang. Dulu wadah itu banyak dan mudah didapat. Rantang dan tenong yang harus dibawa pulang. Sering pula rantang itu diisi lagi oleh orang yang kita kunjungi. Bertukar kue. Datang berisi, pulang berisi. Balik modal. (Yahya Andi Saputra).

 

 

 

 

 

Check Also

NUBA DAN NGUBEK EMPANG

NUBA DAN NGUBEK EMPANG

GESAH ANAK BETAWI Assalamualaikum warahmatullahi wabaratuh Tabè…! Kite bersyukur kepada Allah yang telah memberika rezeki …

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *