Oleh : TIM LITBANG LEMBAGA KEBUDAYAAN BETAWI
Pengantar
PERJALANAN WAYANG KULIT BETAWI. Artikel Wayang Kulit Betawi yang turunkan di laman Lembaga Kebudayaan Betawi ini merupakan hasil penelitian Tim Peneliti yang dilakukan sekitar tahun 1990-an. Jika dikomparasikan dengan data mutakhir (2021), maka kondisi objektifnya sudah berubah. Tetapi karena di awal artikel ini berbicara tentang dimensi historisnya, maka kami tidak melakukan vermak atasnya. Kami membutuhkan bantuan dan urun rembuk dari berbagai kalangan untuk mendata ulang kondisi mutakhir untuk tujuan pembinaan dan pengembangan.
Perihal Muasal Wayang Kulit Betawi
Penelitian sporadis sering dilakukan berbagai kalangan perihal muasal wayang kulit Betawi. Namun hasilnya tidak atau belum maksimal. Terus terang, belum pernah ada penelitian ilmiah kesejarahan wayang kulit Betawi, Sebuah hipotesa sebagian pengamat mengatakan bahwa tumbuh dan berkembangnya wayang kulit Betawi ada kaitannya dengan penyerangan Sultan Agung dari Mataram ke Batavia pada 1628-1630. Konon di dalam barisan prajurit Mataram terdapat seniman wayang kulit (dalang dan nayaga) yang berasal dari Wirasaba-Banyumas. Seniman inilah yang menjadi cikal bakal kesenian wayang kulit Betawi.
Hipotesa itu ada sedikit benarannya mengingat wayang kulit di daerah sepanjang pantai utara merupakan kesenian rakyat seperti halnya wayang kulit di Banyumas, yang menjadikan punakawan (Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong) sebagai tokoh favorit. Bahkan di wilayah budaya Betawi konon sebelum dikenal gamelan logam seperti sekarang dahulu diiringi gamelan dari bambu seperti halnya dengan Calung-Banyumasan yang pernah mengiringi wayang kulit Banyumasan. Beberapa kosa kata bahasa Jawa dialek Banyumasan diserap ke dalam bahasa Betawi, terutama di Betawi pinggir. Salah satu buktinya, pergelaran wayang kulit Betawi pada masa lalu biasa diiringi alat musik dari bambu, yang bentuknya persis seperti calung Banyumas.
Sudah barang tentu, keterangan tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Yang cukup jelas, pada abad ke-19 wayang kulit tampaknya merupakan salah satu pertunjukan yang cukup memperoleh tempat di hati masyarakat Betawi, terbukti dengan adanya sejumlah naskah cerita wayang, antara lain yang ditulis oleh Mohammad Bakir, seorang guru mengaji di Pecenongan. Cerita wayang yang ditulisnya dalam bentuk naskah, ternyata laku disewakan.
PERJALANAN WAYANG KULIT BETAWI. Dari tinjauan geografis sepanjang pantai utara Jawa Barat sampai ke Banten tempat tumbuhnya kesenian wayang kulit, faktor pengaruh beranting selama beberapa generasi nampaknya lebih dapat diterima daripada hipotesa peristiwa sejarah penyerangan Sultan Agung yang berlangsung dalam sekejap. Bahwa Jawa Tengah khususnya Banyumas merupakan daerah asal kesenian wayang kulit di wilayah-wilayah tersebut merupakan kenyataan yang sulit dibantah. Pengaruh Banyumas ke wilayah Jawa Barat, Betawi dan Banten, sebagian kecil melalui jalur selatan di wilayah Priangan yang juga mengenal kesenian wayang kulit berbahasa Sunda, namun sebagian besar melalui jalur utara yang berbahasa Cirebon, Betawi dan Banten.
Kesenian wayang kulit yang berbahasa Cirebonan, sekarang masih terdapat di Kabupaten Cirebon, Indramayu, Kuningan, Majalengka, sebagian Kabupaten Subang dan Karawang paling barat khususnya di Kecamatan Cilamaya. Kesenian wayang kulit di wilayah ini relatif lestari karena cukup luluh sebagai sarana ritual bagi masyarakat pendukungnya. Kalau toh ada yang agak lemah di wilayah ini adalah karena persaingan kuat dari kesenian wayang golek Sunda yang memang cukup dominan di wilayah Jawa Barat. (Bersambung Bagian 2)