Oleh : Tim Litbang Lembaga Kebudayaan Betawi
LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 2) – Salah satu buah karya Muhammad Bakir yang sudah ditransliterasi dengan mengambil setting wayang, yang ditulis antara tahun 1884-1906, menghasilkan tidak kurang 14 manuskrip hikayat bertema wayang. Lakon Prabu Sapu Jagat yang diturunkan di website LKB ini salah satu dari itu. Manuskrip ini hasil transkrip dari buku Wayang Kulit Betawi terbitan Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta. Selamat menikmati Lakon Prabu Sapu Jagat berseri dari bagian pertama sampai bagian ke sebelas sebagai berikut:
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 1)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 2)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 3)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 4)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 5)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 6)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 7)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 8)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 9)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian 10)
- LAKON PRABU SAPU JAGAT (Bagian Tamat)
Paginya Arjuna mengajak keempat punakawannya pulang. Bukan main senangnya Semar dan anak-anaknya. Mereka sudah bosan tinggal di gunung yang sunyi Saat menuruni lereng gunung, alangkah terkejutnya Arjuna dan para punakawannya. Dua butha kembar yang dulu menyerangnya telah menanti. Pertarungan sengit kembali terjadi. Semar dan ketiga anaknya berteriak teriak. Arjuna menjadi bersemangat.
Saat terdesak, Arjuna menghunus Keris Si Pancaroba. Kilau pamornya tampak memancar. Kedua butha menerjang. Sigap Arjuna menebaskan kerisnya. Putuslah tangan kedua butha itu. Raungan dashyat terdengar.
Tiba-tiba asap tebal melingkupi kedua butha itu. Saat asap menipis, kedua butha itu lenyap. Yang tampak adalah Batara Narada.
Serentak Arjuna dan para punakawannya bersimpuh. Rupanya Batara
Narada sengaja menyamar menjadi butha kembar untuk meguji Arjuna. Setelah
memberikan petuahnya Batara Narada lenyap.
“Ayoh Kang Semar,” ujar Arjuna. “Kita teruskan perjalanan kita.”
“Tunggu Den,” sahut Garubug. “Lihat apa yang hamba temukan.”
“Astaga, indah sekali cincin itu!” seru Arjuna. “Dari mana kau dapat?”
“Hamba menemukannya tergeletak di sini.”
“Mungkin cincin itu milik Batara Narada,” ujar Semar.
“Benar, Bug,” sahut Arjuna. “Sebaiknya kau kembalikan kepada Batara
Narada.”
Maka pergilah ketiga anak Semar itu ke Suralaya. Sedang Arjuna dan Semar meneruskan perjalanan ke Amarta. Mereka yakin, kalau cincin itu dikembalikan pasti akan mendapat ganjaran besar. Benar adanya, cincin yang ditemukan Garubug milik Batara Narada. Kabar cincin itu telah menyebar luas. berbondong-bondonglah para raja dan hilangnya para satria ke Suralaya untuk menyerahkan cincin.
“He..he..he, ini kesempatan emas anak Prabu,” ujar Sakuni pada Duryudana di istana Astina. “He..he..he, Batara Narada pasti memberikan besar. Kita mungkin bisa melenyapkan para Pandawa selamanya.” ganjaran
“Tapi bagaimana mungkin,” sahut Duryudana. “Sedang cincin itu tak ada padaku paman Patih?”
“He..he..he, anak Prabu..anak Prabu. Mengapa sependek itu anak Prabu berpikir. Kita jaga saja jalan menuju Suralaya.”
“Hi..hi..hi, benar, sungguh benar,” tukas Pandita Dorna. “Hi..hi..hi, kita jaga dan cegat semua orang yang menuju Suralaya. Salah satu pasti ada yang membawa cincin Batara Narada, hi..hi..hi.”
“Nah, tidakkah anak Prabu dengar?” ujar Sakuni. “Dahyang Dorna, Pandita
yang alim sungguh sehati dengan hamba, he..he..he.”
Terbeliak mata Duryudana mendengar itu semua. Lalu tawanya menggelegar, sungguh suka hatinya mendengar itu semua. Seisi istana ikut tertawa dan memuji-muji Patih Sakuni dan Pandita Dorna. Merahlah wajah kedua orang itu, kepala mereka bergoyang-goyang dan hidung keduanya kemabng kempis.
“He..he..he, dan kini tugas saudaraku Pandita alim untuk melaksanakan itu, he..he..he,” ujar Sakuni.
“Ampun..ampun, kapan sembuhnya encok dan burutku?” sungut Dorna. “Mengapa orang tua bangka ini yang Tuan Patih titahkan?” “He..he..he, saudaraku yang alim, adakah saudaraku tahu orang yang lebih bijak dari tuan?”
“Ah, tuanku Patih gemar bergurau, masa tua bangka macam hamba disebut bijak”
“He..he..he, tentu.. tentu, tak ada yang lebih bijak dari tuan,” ujar Sakuni pada Dorna yang wajahnya kian memerah. “Lagipula tuanku tak perlu mengerjakannya sendiri. Bawalah beberapa pahlawan Astina menyertai tuan, ha..he..he.” (Bersambung)